Sejak Jumat malam (17 Desember 2010) – Sabtu(24 Desember 2010) saya menghilang dari peradaban Bandung untuk mengikuti pelatihan FIM Rescue. Sabtu-Minggu adalah sesi materi penaggulangan bencana, turut mengisi acara ACT, merC, dll, belajar pendirian tenda, membuat dapur umum. Minggu sore-selasa pagi saatnya camping dan outbond di buperta (bumi perkemahan) bersama tim nya pak esnoe. Mulai dari solo bivak, sampai membawa korban menyebrangi danau menggunakan tali. [mengenai materi akan dibahas di halaman berbeda]
Selasa siang, setelah penutupan pelatihan FIM Rescue di bumi perkemahan, buperta, bogor, kami para fim rescue rangers yang berjumlah 31 orang berangkat menuju st. Senen dengan menggunakan angkutan kota. Di St. Senen kami bertemu dengan pasukan Paramadina yang siap berangkat dengan sumbangan tas hasil konsernya. Ini kali pertamanya saya menumpang kereta api ekonomi untk perjalanan jauh. Pengalaman menggunakan kereta ekonomi sungguh luar biasa. Miris melihat kake2 dan cucunya yang tidur di sebelah toilet tidak kebagian tempat, suara tangisan bayi-bayi yang harus berebut oksigen dengan ratusan orang dewasa, teriakan penjual asongan yang tidak henti selama 12 jam. Perjalanan 12 jam itu sangat saya nikmati, main kartu, bertukar cerita, main tebak-tebakan, serasa gerbong milik kami ber35. Tak jarang penumpang lainnya pun ikut tertawa melihat kekonyolan kami. Mendekati St.Lempuyangan Yogjakarta, kami bersiap2 turun, 30 menit lamanya saya berdiri di muka pintu rel kereta. Menikmati malam Jogjakarta dari depan pintu kereta api yang berjalan itu MENYENANGKAN kawan!
Pk.23.30 kami tiba di St. Lempuyangan. Rencana awal, kami akan bermalam di St.Lempuyangan sampai besok pagi. Namun, takdir berkata lain. Kami di jemput oleh salahsatu rekan rescuer, lalu di antar ke masjid milik Salim A Fillah (Penulis buku yang terkenal itu). Senangnya, melewati jogja dengan mobil bak terbuka (thx to Mas Rifqi and the geng). Penyambutan ustad Salim luar biasa. Kami disiapkan kasur sesuai dengan jumlah kami, teh manis hangat, dan sarapan soto Jogja yang maknyuss. (Kabarnya, masjid ini dijadikan masjid percontohan oleh pemerintah. Bangunan mesjid berlantai 2 ini biasa dijadikan ‘penginapan’ untuk orang-orang yang datang ke jogja dan bingung menginap dimana. Ciri khas lainnya, pemberdayaan kewirausahaan di sepanjang kompleks mesjid dominan, uang kas masjid ‘nol’ setiap hari jumat).
Rabu pagi kami di jemput oleh bis sewaan kawan2 FIM Jogja untuk berangkat menuju Magelang, 2 jam dari Jogja. Penduduk desa sudah tinggal di rumah masing-masing. Peninggalan pasca Merapi adalah gunungan pasir di depan rumah, pohon2 yang mati, batu-batu yang terbawa banjir lahar dingin. Tempat tujuan kami adalah MI (setingkat sekolah dasar) yang ada di desa tersebut. Hari pertama kami gunakan untuk melakukan assessment kebutuhan warga sekaligus pendekatan. Sore hari nya kami melakukan rapat koordinasi untuk menyusun kegiatan yang akan dilakukan dua hari kedepan. Kegiatan yang akan dilakukan adalah: outbond untuk anak SD, penyuluhan kesehatan, nonton bareng warga, diskusi bersama warga, dan gotong royong.
Teringat pesan Pak Elmir sebelum kami berangkat menuju Jogja, gunakan waktu yang ada untuk bersama-sama dengan warga bukan dengan sesama teman rescuer. Setelah selesai rapat, beberapa dari kami main dengan anak-anak, ada yang keliling ke rumah warga, dan ngopi-ngopi bareng bapak-bapak disana. Saya memilih membuat kegiatan belajar bareng dengan anak2 SD/MI. Beruntung dulu saya pernah mengabil mata kuliah Pengajaran Matematika Sekolah, “Sesungguhnya yang terpenting bukan bagaimana cara berhitung, tetapi pengalaman dalam proses mengajar” kata-kata Pak Iwan Pranoto 3 tahun yang lalu. Saya ingin membuat pengalaman itu. Kami membuat kelompok belajar dengan anak kelas 6 menjadi guru untuk kelas 5, kelas 5 jadi guru untuk kelas 4, dst. Anak-anak terlihat antusias belajar matemetika sambil main guru-guruan. Teman saya yang dari jurusan pertanian, mengisi waktu dengan bercerita ke warga tentang strategi sukses menanam bibit di atas tanah bekas letusan merapi, teman saya yang berprofesi sebagai dokter memberikan penyuluhan kesehatan, yang dari jurusan psikologi mendatangi keluraga yang anaknya teridentifikasi trauma. Indahnya sinergi. Sekarang, saya rasakan pentingnya kita mendalami keilmuan kita, suatu saat pasti akan berguna bagi masyarakat.
Malam harinya, ketika teman-teman rescuer mengadakan diskusi dengan warga sambil ngopi bareng saya bersama Naima, membuat kelompok pengajian anak-anak. Diskusi warga berjalan panas (menurut cerita salahsatu temanku yang mengikuti diskusi). Salah satu topik diskusi itu adalah bagiamana ‘mengisi’ perekonomian keluarga. Kebanyakan warga berprofesi sebagai petani salak. Namun salak-salak mati terkena erupsi merapi. Bantuan logistik, hampir habis. Sedangkan untuk menanam salak kembali butuh waktu 3 bulan. Akhirnya tercapailah solusi, tanah-tanah kembali ditanami salak, sambil menunggu 3 bulan, diantara tanah-tanah tersebut ditanami tanaman biji-bijian, kami bersedia membantu penyediaan benih tanaman. (mengenai solusi benih ini, sebenarnya saya tidak begitu paham).
Kelompok pengajianku pun tidak kalah panasnya. Kami sharing soal cita-cita dan pentingnya mengaji. Cita-cita mereka beragam, mulai dari guru, dokter,perawat,pilot, dll. Namun ketika ditanya, habis lulus SMP mau lanjut SMA dimana? Mereka bingung, memang harus ya lanjut sekolah sampai SMA? Tuhan, sekarang sudah tahun 2010 dan di negeri ku tingkat pendidikan masih jadi masalah. Dosen ekonometrika ku pernah bilang “sekarang ini kemajuan suatu negara dilihat dari tingkat kebebasan memilih rakyatnya”. Kalau hanya lulusan SMP, adakah pilihan untuknya menjadi guru atau dokter? Masalah klise tetapi selalu mebuat saya cenat cenut memikirkannya. Acara pengajian ditutup dengan pembuatan jadwal harian (time management).
Kamis pagi dimulai dengan acara outbond bersama anak-anak SD/MI. Acara yang seharusnya dimulai pk.08.00 dimulai lebih cepat pk.07.00, anak-anak itu begitu in time. Acara dimulai dengan senam bersama. Lalu setiap anak dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok bersama-sama menuju pos-pos outbond yang telah disiapkan. Ada 5 pos yang kami siapkan, yang tersebar di desa itu. Pos lari di sebeleh masjid, pos memasukkan botol di depan gubuk warga, pos botol berlubang di pinggir sungai, pos komunikata di dekat pos ronda, pos sebrang di salah satu pekarangan warga. Anak-anak terlihat antusias, nampaknya ini kali pertamanya mereka melakukan outbond, apalagi mereka akan mendapatkan bintang jika mampu menyelesaikan tantangan. Acara seperti ini yang biasa saya dan teman-teman HIMATIKA persiapkan berbulan-bulan mampu dipersiapkan oleh tim outbond dalam waktu semalam. Dengan perlengkapan seadanya, namun keren! Perlengkapan dan games yang dibuat mirip seperti games yang saya ikuti saat pelatihan FIM dulu, dengan menggunakan pelatih professional. Menurut temanku yang dari jurusan psikologi games tersebut disusun dengan tujuan mengembalikan kebersamaan anak-anak, kerja tim, dan semangat untuk terus maju dan berprestasi. Semangat ‘bisa’ nya itu tidak hanya tertanam untuk anak-anak, tetapi juga untuk saya. Dengan waktu dan alat seadanya, tujuan besar akan tetap ‘bisa’ dilaksanakan. There’s a will there’s a way.
Siang harinya bertempat di masjid desa (walaupun rumah warga terbuat dari gubuk, namun masjid nya bagus dan besar. Masjid yang dekat kompleks rumahku saja kalah bagus). Di sini saatnya anak-anak diajari tentang kebersihan oleh para dokter. Anak-anak diajari praktek mencuci tangan yang benar. Setelah peyuluhan kebersihan saatnya minum susu bersama dan pembagian tas dan alat sekolah.
Magrib pun tiba, kami semua para rescuer dan warga berkumpul di masjid untuk melakukan solat magrib bersama. Kami memang membiasakan untuk melakukan solat bersama warga tepat waktu agar lebih dekat dengan warga. Bahkan kami memilih salahsatu teman rescuer untuk menjadi PJ sandal. Tujuannya adalah ‘berdakwah’ memberikan pelajaran kecil tentang kerapian. PJ sandal akan membereskan setiap sandal agar selalu tersusun rapi. Dampaknya luar biasa, pendatang masjid mulai rapi, dan meminta pelajaran-pelajaran lainnya. Pj sandal? Kecil sih tapi dampaknya luar biasa. Terkadang kita lupa dengan hal-hal sederhana.
Setelah solat magrib, saatnya tim dokter beraksi. Sekarang penyuluhan kesehatan bagi bapak-bapak dan ibu-ibu. Warga terlihat antusias, terlihat dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan. Diskusi kesehatan berkhir saat azan isya berkumandang. Acara berikutnya adalah nonton bersama. Film pertama adalah film kartun mengenai tata cara solat nabi, film berikutnya mengenai dampak negative rokok. Acara selesai pk.21.00.
Ini malam terakhir kami tinggal disana. Malam ini saya menginap di rumah Utami Surya. Surya yang duduk di kelas 6 SD ini terlihat berbeda dari anak-anak lainnya. Ia terlihat lebih dewasa, mungkin karena terbiasa ditinggal kerja ayah dan ibunya dan harus mengasuh adiknya yang masih balita. Selain itu, kecerdasannya pun terpancar dari sikap dan obrolannya. Dia ingin melajutkan sekolah ke SMA Taruna Nusantara di kota magelang, nantinya ia ingin mejadi suster yang go internasional, menolong orang dan bisa keliling dunia (bisa gabung MerC pikirku). Kebetulan saya, membawa buku travelling to europe, pas sekali untuknya. Malam itu kami tidur sangat larut. Kami bercerita banyak, mulai dari masalah kewanitaan, cita-cita dan kehidupan kota. Saya yakin cahaya sang Surya kelak kan membangkitkan Srumbung. Saya banyak belajar darinya tentang ‘pelayanan’. Ia benar-benar menjadi guide saya di kampung itu. Dia juga menyiapkan tempat tidur, membuatkan minuman, terkadang memasak, dan menunggui kami rapat evaluasi hingga larut malam agar kami (recuer) bias menginap di rumahnya. Yah, sebenarnya rakyat Indonesia memang ramah. Saya kaget, tiba-tiba ia memakaikan gelang ke tangan saya. Dan malam itu kami akhiri dengan pelukan.
Jumat pagi, setelah senam bersama dan gotong royong, kami berpamitan dengan warga yang berkerumun di bus kami. Kami saling berpelukan dan saling memberi pesan. Kami pun meninggalkan desa Srumbung menuju Cangkringan. Cangkringan, Jogjakarta mungkin tempat yang terparah terkena dampak letusan gunung merapi. Daerah ini sudah menjadi tempat wisata. Untuk masuk ke kawasan tersebut, kami di kenakan retribusi Rp.1000,00. (Untuk mencapai lokasi rumah mbah marijan yang legendaries itu, kita bisa menyewa ojeg dengan biaya Rp.10.000,00. )Tempatnya 15 km dari kaki gunung Merapi. Walaupun jaraknya 15 km, gunung Merapi terlihat sangat jelas dari desa tersebut. Jelas, karena tidak ada gedung,rumah, ataupun pohon yang menghalangi. Semuanya ludes terbakar awan panas, dan tersapu lahar. Bahkan batu-batu yang terbawa letusan gunung merapi, tingginya melebihin tinggi tubuhku. Terbayangkan bagaimana menyeramkannya terjebak di tempat itu saat terjadinya erupsi. Bahkan, pasir-pasir itu masih panas jika disentuh, dan masih mengeluarkan asap.
Setelah menunaikan solat Jumat, kami kembali ke st. Lempuyangan menuju Jakarta. Tidak seperti perjalanan pergi, kami semua terlelap tidur di dalam kereta keonomi yang penuh sesak, kelelahan.
Hanya sedikit yang dapat kami beri, namun semoga berarti. Terimakasih ya Allah untuk keluarga baru FIM Rescue Rangers yang penuh warna, dan untuk pengalaman hati yang tak ternilai. Keep holding on.
*outbond ceria
*foto bersama sebelum pulang
*batu yang terbawa lahar dingin, saya&surya sebagai pembanding.
*aliran lahar dingin, dulunya ladang perkebunan.
*sisa ‘sapuan’ merapi
*kondisi di Cangkringan, Jogja