PEMBURU BEASISWA

Impian untuk sekolah hingga jenjang tertinggi (S3) sudah tertanam sejak saya masih memakai seragam putih abu-abu. Hingga akhinya setelah penantian selama 5 tahun, skenario-Nya membuat saya berada di titik ini. Sebuah kesempatan besar untuk bisa merasakan kembali bangku kuliah, namun, sebagai mahasiswa program doktoral (S3).  Ya, perjuangan ini saya mulai sejak Juli 2011, atau ketika Saat saya telah menyelesaikan program master (S2) di usia 23 tahun. Prosesnya secara rinci mulai saya masih single fresh graduate, bekerja sebagai dosen, menikah, hamil, menyusui, dan menyapih. Ya… dalam 6 fase silih bergantinya hidup saya tersebut,  status pejuang beasiswa itu terus jadi cap pada diri saya. Bagi penganut aliran “lebih cepat lebih baik” seperti saya, tentu 5 tahun itu waktu yang sangaaaaat panjang. Untung selalu ada pak suami yang selalu mengingatkan, “nikmatin aja prosesnya”. Padahal sekolah itu hakikatnya bukan cepat atau lambat, mirip2 kaya cari jodoh, akan datang pada saat yang tepat, jika memang itu baik bagimu.

Dari realitas sebagai “Pejuang Beasiswa” dan kini menjadi “Penikmat Beasiswa”. Ada beberapa pembelajaran yang ingin saya sampaikan sekaligus hikmahnya bagi hidup saya.

  1. SABAR dan SEMANGAT

Bukankah SABAR adalah salah satu adab dalam menuntut ilmu? Seperti sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas –Radhiallahu ‘Anhuma bahwa beliau ditanya oleh seseorang: Dengan apa anda bisa mendapatkan ilmu? Beliau menjawab: “Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang tidak pernah bosan.”

Memang prasayarat mendapatkan beasiswa atau diterima dikampus top dunia adalah : kemampuan akademik (IPK), kemampuan bahasa (IELTS/TOEFL/lainnya), skor GRE, rekam-jejak pribadi (CV, Portofolio, surat rekomendasi baik dari dosen atau praktisi sesuai studi). Ke semua itu berkaitan dengan kemauan, mau untuk sabar dan semangat untuk melewati setiap tantangan. Banyak cerita para scholars sukses mendapatkan beasiswa atau kampus impiannya karena sabar dan semangatnya yang tak pernah padam.

a. Bagaimana bila IPK pas-pas an?

Seorang alumni ITB punya cita-cita lanjut sekolah di MIT, tapi sayangnya saat lulus dari ITB, IPK nya belum memenuhi syarat. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk mengubur cita-cita untuk lanjut kuliah di MIT.

Setelah dengan berbagai pertimbangan panjang, akhirnya ia mengambil program master di UI dan berjuang agar dapat IPK tinggi. Setelah itu kemudian, ia baru mendaftar MIT dan berhasil! (cerita lengkapnya http://www.kajianislam.net/2012/05/adab-penuntut-ilmu-8-dari-12-sabar-dalam-menuntut-ilmu/)

Banyak juga teman saya yang bersabar menunggu waktu lulusnya tertunda, untuk meningkatkan IPKnya demi bisa lanjut kuliah di kampus impian. Dalam konteks itulah, saya berkesimpulan kembali, bahwa, apapun bisa diwujudkan bila sejak awal kita memiliki kesabaran yang hebat dan semangat yang kuat.

b. Atau ada kendala Bahasa Inggris/bahasa asing?

Alasan klasik ini merupakan cerita sebagian besar yang dialami hampir sebagian besar mereka yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri. Wajar, ngga usah khawatir bin parno gitu. Trus, solusinya gimana? Ini cerita temen saya yang berjuang ke kampung inggris Kediri, demi dapetin nilai IELTS sesuai target. http://garudaaksara.or.id/2016/10/01/sekolah-ke-luar-negeri-kampung-inggris-pare-dan-lpdp-ada-apa/

Ada lagi temen kerja saya yang bolak balik ke IDP untuk tes IELTS, sampai 6 kali! Akhirnya lulus kok.. Saya dapet cerita dari LPDP, Mba Kevin, perjuangan orang-orang yang ambil tes IELTS berkali-kali sebelum berangkat menuju negeri seberang. Jadi, kalau kamu gagal sekali dua kali dalam tes IELTS, you are not alone. Coba terus! Costly sih emang.. tapi insyaAllah kalau ikhlas, diniatin dalam rangka meraih ilmu bisa jadi pahala.

Kalau saya? Untuk saya, yang Bahasa Inggrisnya pernah merah saat di bangku sekolah, urusan IELTS atau TOEFL ini cukup challenging. Buku2 IELTS Cambridge edisi 1-10, IELTS Master, Baron semuanya udah saya coba, ditambah bantuan kelas singkatnya IEDUC dan Ko Ibeng (tempat lest IELTS di Bandung).

c. CV, motivation letter, surat rekomendasi, portofolio, essay, reserach proposal

Ini semua hal yang sangat bisa terus diperbaiki dengan konsisten berkarya. Gunakan masa penantian beasiswa, untuk menambah karya-karya (portofolio). Bahkan, untuk siswa SMA di Eropa atau Amerika ngga heran kalau mereka menunda langsung lanjut ke bangku kuliah. Mereka memilih untuk internship atau traveling keliling dunia dalam rangka menyiapkan “motivation letter” atau “statement of purposes” mereka.

Saya pribadi menggunakan masa penantian dengan mengambil setiap kesempatan yang memberikan nilai tambah di bidang matematika keuangan (keilmuan yang saya minati). Volunteer menjadi tutor mata kuliah terkait, ikut terlibat di kelompok riset matematika keuangan, mempelajari jurnal terkait, mengikuti atau menyelenggarakan shortcourse (workshop), serta belajar langsung dari para mentor (dosen, alumni, praktisi). Selain untuk content aplikasi kampus/beasiswa, hal ini penting untuk mengkonfirmasi diri apakah kita benar-benar minat/butuh melanjutkan studi di bidang tersebut?  Ketika kita sudah bekerja giat, tentu surat rekomendasi dari pakar pun akan dengan mudah kita dapatkan.

d. SABAR dan SEMANGAT dengan segala PENOLAKAN

Setelah mengusahakan kesemuanya itu, jangan ragu untuk daftar beasiswa. Eh terus gagal? Ooo…itu biasa banget. Saya punya temen LPDP, seorang dokter, beprestasi, pekerjaan dan kontribusi nyata sebagai dosen dan dokter, sering masuk TV karena keilmuannya, rendah hati, suka menolong, dan cantik pula (saya nyebutnya seleb dokter). Siapa sangka ternyata ini adalah percobaan kedua dia, setelah sebelumnya gagal daftar LPDP. Coba orang keren kayak gitu aja pernah gagal beasiswa kok, untung dia ngga nyerah.

Ngehubungin profesor atau kampus ga dapet balesan? haduh itu juga biasa, ya anggepnya emang ngga jodoh. Saya punya temen yang sekarang akhirnya melanjutkan studi di Cambridge setelah sebelumnya ditolak kampus lainnya di UK. Saya sendiri juga pernah di tolak profesor atau kampus, sekarang malah dapet kampus dengan peringkat tiga besar dunia untuk bidang keilmuan saya, Actuarial Science.

Pada akhirnya ditolak dan menolak akan menjadi penghias cerita perjalanan seorang pejuang beasiswa. Kalau kata Pakcik (sahabat saya dari Malaysia, yang baru saja menyelesaikan program doktornya di Norwegia) “Jika memang jalan tersebut mudah bagi kamu mungkin memang itu jalanmu”, saat dia menasehati saya untuk mengambil kesempatan beasiswa dan universitas saya sekarang ini. Jadi, selain Jangan berhenti mencoba juga lalui berbagai jalan. Karena perjalanan setiap orang berbeda dan unik, kita tidak tahu lewat jalan mana kesuksesan kita.

  1. The power of “Doa Ibu” dan “rido suami”

Kalau bukan doa mama, mana mungkin saya yang matematika dan bahasa inggrisnya merah di rapot ini bisa melanjutkan studi S3 bidang matematika di luar negeri. Untuk saya pribadi, izin dari suami adalah hal utama. Maka rencana melanjutkan sekolah ini menjadi salah satu pembicaraan serius kami sejak awal (mau menikah). Sejak awal menikah hingga detik ini pun suami malah jadi suporter utama saya, asalkan pekerjaan sebagai istri dan ibu yang utama tidak terabaikan. Tentu membagi peran dan waktu sebagai seorang istri, ibu, wanita karir, plus (calon) mahasiswa (baca: pemburu/penikmat beasiswa) tidak mudah tetapi juga bukan tidak mungkin. Rasanya jauh lebih ringan banget kalau keluarga apalagi temen hidup mendukung apa yang sedang kita usahakan. Bahkan kami juga mulai memberikan pengertian kepada Aila (3 tahun, anak pertama dan satu-satunya saat ini) tentang perjuangan ayah dan bundanya.

Jadi bagi yang bingung antara menikah atau sekolah, kedua hal tersebut seharusnya bukanlah hal yang perlu dipertentangkan, mengutip pernyataan sang suami saat diskusi awal pernikahan.^^

  1. Menolong orang dan Doa

“Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Dalam lika-liku perjalanan yang saya alami, seringkali malah kesuksesan datang dari arah-arah yang sama sekali tidak saya rencanakan atau bahkan tidak dipikirkan alias tak terduga. Selain doa ibu, saya percaya bahwa kemudahan yang selama ini saya dapatkan adalah doa dari sahabat atau orang yang pernah kita tolong. Ini mungkin klise, namun, mekanisme kerjanya efektif terealisasi dalam hidup saya. Juga halnya cerita saya mendapatkan pembimbing saat ini. Mulanya saya diminta seorang kolega untuk menemani tamu beliau (yang sekarang menjadi spv saya). Siapa sangka ternyata kami memiliki research interest yang sama dan beliau tertarik untuk menjadikan saya mahasiswa doktoralnya. Selain membantu saya dalam proses pendaftaran kampus, beliau juga mempertemukan saya dengan para jawara lainnya di bidang Math Finance.

Intinya, Sebaik apapun kita berusaha kalau Allah tidak berkehendak maka tentu tidak akan terjadi, juga sebaliknya jika Allah meridoi apa yang kita citakan, maka segalanya akan menjadi mudah. Jadi, mintalah selalu doa kepada orang-orang di sekitar kita serta pertolonganNya dalam setiap asa.

So, selamat menikmati perjuangan-mu kawan!

Salam hangat dari Waterloo yang sedang dingin. ^^

Leave a comment